Kamis, 08 Desember 2011

tugas pkn




TUGAS KELOMPOK



pendidikan kewarganegaraan





Di susun oleh :

1.    Edar Girangga                   (11)

2.    Edita Wahyu.F                 (12)

3.    Edi Susilo                         (13)

4.    Erby. L.S                           (14)

5.    Fahrul Nur Fatah              (15)







SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN NEGERI 4 SEMARANG

2011

BUDAYA POLITIK

Budaya politik merupakan pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan benegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan norma kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya. Budaya politik juga dapat di artikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya.

Bagian-bagian budaya politik

Secara umum budaya politik terbagi atas tiga :

1.     Budaya politik apatis (acuh, masa bodoh, dan pasif)

2.     Budaya politik mobilisasi (didorong atau sengaja dimobilisasi)

3.     Budaya politik partisipatif (aktif)

Tipe-tipe Budaya politik

A.   Budaya politik parokial yaitu budaya politik yang tingkat partisipasi politiknya sangat rendah. Budaya politik suatu masyarakat dapat di katakan Parokial apabila frekuensi orientasi mereka terhadap empat dimensi penentu budaya politik mendekati nol atau tidak memiliki perhatian sama sekali terhadap keempat dimensi tersebut. Tipe budaya politik ini umumnya terdapat pada masyarakat suku Afrika atau masyarakat pedalaman di Indonesia. dalam masyarakat ini tidak ada peran politik yang bersifat khusus. Kepala suku, kepala kampung, kyai, atau dukun,yang biasanya merangkum semua peran yang ada, baik peran yang bersifat politis, ekonomis atau religius.



B.   Budaya politik kaula (subjek),yaitu budaya politik yang masyarakat yang bersangkutan sudah relatif maju baik sosial maupun ekonominya tetapi masih bersifat pasif. Budaya politik suatu masyarakat dapat dikatakan subyek jika terdapat frekwensi orientasi yang tinggi terhadap pengetahuan sistem politik secara umum dan objek output atau terdapat pemahaman mengenai penguatan kebijakan yang di buat oleh pemerintah. Namun frekwensi orientasi mengenai struktur dan peranan dalam pembuatan kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak terlalu diperhatikan. Para subyek menyadari akan otoritas pemerintah dan secara efektif mereka di arahkan pada otoritas tersebut. Sikap masyarakat terhadap sistem politik yang ada ditunjukkan melalui rasa bangga atau malah rasa tidak suka. Intinya, dalam kebudayaan politik subyek, sudah ada pengetahuan yang memadai tentang sistem politik secara umum serta proses penguatan kebijakan yang di buat oleh pemerintah.


C.   Budaya politik partisipan,yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik yang sangat tinggi. Masyarakat mampu memberikan opininya dan aktif dalam kegiatan politik. Dan juga merupakan suatu bentuk budaya politik yang anggota masyarakatnya sudah memiliki pemahaman yang baik mengenai empat dimensi penentu budaya politik. Mereka memiliki pengetahuan yang memadai mengenai sistem politik secara umum, tentang peran pemerintah dalam membuat kebijakan beserta penguatan, dan berpartisipasi aktif dalam proses politik yang berlangsung. Masyarakat cenderung di arahkan pada peran pribadi yang aktif dalam semua dimensi di atas, meskipun perasaan dan evaluasi mereka terhadap peran tersebut bisa saja bersifat menerima atau menolak.

Budaya politik yang berkembang di indonesia, Gambaran sementara tentang budaya politik Indonesia, yang tentunya haruus di telaah dan di buktikan lebih lanjut, adalah pengamatan tentang variabel sebagai berikut :

  • Konfigurasi subkultur di Indonesia masih aneka ragam, walaupun tidak sekompleks yang dihadapi oleh India misalnya, yang menghadapi masalah perbedaan bahasa, agama, kelas, kasta yang semuanya relatif masih rawan/rentan.
  • Budaya politik Indonesia yang bersifat Parokial-kaula di satu pihak dan budaya politik partisipan di lain pihak, di satu segi masa masih ketinggalan dalam mempergunakan hak dan dalam memikul tanggung jawab politiknya yang mungkin di sebabkan oleh isolasi dari kebudayaan luar, pengaruh penjajahan, feodalisme, bapakisme, dan ikatan primordial.
  • Sikap ikatan primordial yang masih kuat berakar, yang di kenal melalui indikatornya berupa sentimen kedaerahan, kesukaan, keagamaan, perbedaan pendekatan terhadap keagamaan tertentu; purutanisme dan non puritanisme dan lain-lain.
  • kecendrungan budaya politik Indonesia yang masih mengukuhi sikap paternalisme dan sifat patrimonial; sebagai indikatornya dapat di sebutkan antara lain bapakisme, sikap asal bapak senang.
  • Dilema interaksi tentang introduksi modernisasi (dengan segala konsekuensinya) dengan pola-pola yang telah lama berakar sebagai tradisi dalam masyarakat.







Budaya Politik di Indonesia

Hirarki yang Tegar/Ketat

Masyarakat Jawa, dan sebagian besar masyarakat lain di Indonesia, pada dasarnya bersifat hirarkis. Stratifikasi sosial yang hirarkis ini tampak dari adanya pemilahan tegas antara penguasa (wong gedhe) dengan rakyat kebanyakan (wong cilik). Masing-masing terpisah melalui tatanan hirarkis yang sangat ketat. Alam pikiran dan tatacara sopan santun diekspresikan sedemikian rupa sesuai dengan asal-usul kelas masing-masing. Penguasa dapat menggunakan bahasa 'kasar' kepada rakyat kebanyakan. Sebaliknya, rakyat harus mengekspresikan diri kepada penguasa dalam bahasa 'halus'. Dalam kehidupan politik, pengaruh stratifikasi sosial semacam itu antara lain tercemin pada cara penguasa memandang diri dan rakyatnya.

Kecendrungan Patronage

Pola hubungan Patronage merupakan salah satu budaya politik yang menonjol di Indonesia.Pola hubungan ini bersifat individual. Dalam kehidupan politik, tumbuhnya budaya politik semacam ini tampak misalnya di kalangan pelaku politik. Mereka lebih memilih mencari dukungan dari atas daripada menggali dukungn dari basisnya.

Kecendrungan Neo-patrimoniaalistik

Salah satu kecendrungan dalam kehidupan politik di Indonesia adalah adanya kecendrungan munculnya budaya politik yang bersifat neo-patrimonisalistik; artinya meskipun memiliki atribut yang bersifat modern dan rasionalistik zeperti birokrasi, perilaku negara masih memperlihatkan tradisi dan budaya politik yang berkarakter patrimonial.



Ciri-ciri birokrasi modern:

  • Adanya suatu struktur hirarkis yang melibatkan pendelegasian wewenang dari atas ke bawah dalam organisasi
  • Adanya posisi-posisi atau jabatan-jabatan yang masing-masing mempunyai tugas dan tanggung jawab yang tegas
  • Adanya aturan-aturan, regulasi-regulasi, dan standar-standar formalyang mengatur bekerjanya organisasi dan tingkah laku anggotanya
  • Adanya personil yang secara teknis memenuhi syarat, yang dipekerjakan atas dasar karier, dengan promosi yang didasarkan pada kualifikasi dan penampilan.

ARISTOKRASI JAWA

Aristokrasi jawa lebih menekankan pemeiharan stabilitas politik melalui struktur sosial yang ada.garis keturunan di sertai orientasi birokrasi yang kuat,membuat budaya ini cenderung membuat masyarakat berpikir bahwa mereka adalah obyek dari proses politik.sebaliknya bidang usaha serta sifat egaliterian yang ada pada ajaran agamaa{dalam hal ini Islam} cenderung menyadarkan masyarakat mereka adalah subyek politik.
Dari praktek politik yang berlangsung selama ini tanpak dominan budaya politik jawa mendominasi pola pikir dan bertindak pada tataran elit Nasional,sedangkan untuk tingkatan politik daerah budaya politik lokal tampak mendominasi mekanisme politik dan pemerintaha daerah.

Apakah adanya dominasi ini buruk bagi Indonesia saya pikir jawabannya cukup relatif.sekalipun beberapa nilai-nilai yang ada mungkin tidak selaras dengan nilai-nilai pada sistem masyarakat lain,namun dominasi budaya seperti itu dpat di gunakan untuk melokalisir satu masalah yang di hadapi dalam lingkaran terbatas sehingga masalah itu tidak mempengaruhi sendi - sendi penting Negara.

ABANGAN

Abangan adalah sebutan untuk golongan penduduk Jawa Muslim yang mempraktikkan Islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan golongan santri yang lebih ortodoks. Istilah ini, yang berasal dari kata bahasa Jawa yang berarti merah, pertama kali digunakakan oleh Clifford Geertz, namun saat ini maknanya telah bergeser. Abangan dianggap lebih cenderung mengikuti sistem kepercayaan lokal yang disebut adat daripada hukum Islam murni (syariah). Dalam sistem kepercayaan tersebut terdapat tradisi-tradisi Hindu, Buddha, dan animisme. Namun beberapa sarjana berpendapat bahwa apa yang secara klasik dianggap bentuk varian Islam di Indonesia, seringkali merupakan bagian dari agama itu sendiri di negara lain. Sebagai contoh, Martin van Bruinessen mencatat adanya kesamaan antara adat dan praktik yang dilakukan dahulu kala di kalangan umat Islam di Mesir, sebagaimana yang dijelaskan oleh Edward Lane.

Pendapat lainnya ialah bahwa kata abangan diperkirakan berasal dari kata Bahasa Arab aba'an. Lidah orang Jawa membaca huruf 'ain menjadi ngain. Arti aba'an kurang lebih adalah "yang tidak konsekwen" atau "yang meninggalkan". Jadi para ulama dulu memberikan julukan kepada para orang yang sudah masuk Islam tapi tidak menjalankan syari'at (Bahasa Jawa: sarengat) adalah kaum aba'an atau abangan. Jadi, kata "abang" di sini bukan dari kata Bahasa Jawa abang yang berarti warna merah.

SANTRI

Santri adalah sebutan bagi murid yang mengikuti pendidikan di pondok pesantren. Pondok Pesantren adalah sekolah pendidikan umum yang persentasi ajarannya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam. Kebanyakan muridnya tinggal di asrama yang disediakan di sekolah itu. Pondok Pesantren banyak berkembang di pulau Jawa.

Panggilan Santri Pondok X artinya ia pernah/lulus dari Pondok Pesantren X. Panggilan Santri Kyai KH artinya ia pernah diajar oleh Kyai KH. Umumnya, sebutan santri Kyai juga berarti ia pernah menjadi anak asuh, anak didik, kadang-kadang mengabdi (biasanya di rumah kediaman) kyai yang bersangkutan.

santri juga di identikkan dengan kata susastri ( sankserta ) yang artinya pelajar agama, pelajar yang selalu membawa kitab ajaran suci ( agama ). pada zaman pengaruh hindu budha di Nusantara sebutan ini lebih di kenal dengan cantrik,dimana para cantrik berdiam diri dalam sebuah asrama bersama sang guru dalam beberapa lama untuk memperdalam ilmu keagamaan. dalam sejarah pendidikan istilah lembaga yang demikian di sebut dengan gurukulla ( Pondok pesantren sekarang.



PEMILU, MASALAH PEMILU PADA MASA ORDE BARU TAHUN 1998 - 2009

Tahun 1998


Gerakan 1998 menuntut reformasi dan dihapuskannya "KKN" (korupsi, kolusi dan nepotisme) pada 1997-1998, lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa, akhirnya memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya. Berbagai tindakan represif yang menewaskan aktivis mahasiswa dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan ini di antaranya: Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II , Tragedi Lampung. Gerakan ini terus berlanjut hingga pemilu 1999.









Daftar organisasi gerakan mahasiswa 1998 :

  1. SMID - Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi
  2. HMI - Himpunan Mahaiswa Islam ( Dipo dan MPO )
  3. FSMJT - Forum Solidaritas Mahasiswa Jawa Tengah.
  4. FSMMJT - Forum Mahasiswa Muslim Mahasiswa jawa Tengah.
  5. GMKI - Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia
  6. PMII - Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
  7. DEMA PASIM - Dewan Mahasiswa STIE PASIM Bandung
  8. FKMB - Forum Komunikasi Mahasiswa Bandung
  9. FIM B - Front Indonesia Muda Bandung
  10. FAMU - Forum Aktifis Mahasiswa Unisba
  11. GMIP - Gerakan Mahasiswa Indonesia Untuk Perubahan
  12. KPMB - Komite Pergerakan Mahasiswa Bandung

Di dalam sejarah politik Indonesia, Pemilu 1999 adalah Pemilu yang diikuti oleh paling banyak peserta setelah Pemilu 1955. Ada 48 partai yang mengikuti Pemilu 3 tahun lalu itu. Itu yang mengikuti Pemilu. Kalau hanya sekedar mendaftarkan diri ke pemerintah (Departemen Kehakiman dan HAM) pada waktu itu ada 141. Untuk mengingat kembali partai-partai tersebut berikut ini bisa dibaca profil masing-masing partai tersebut. Di dalamnya terdapat informasi mengenai nama partai, ketua umum dan sekretaris jenderal, alamat, tujuan dan asasnya, serta sejarah singkatnya.Di dalam Pemilu 2004 terdaftar 24 partai politik yang berhak ikut serta Pemilu 2004. Ke-24 parpol merupakan hasil dari proses seleksi yang cukup panjang. Ke-24 partai ini ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2004 setelah berhasil melalui 3 tahap penyaringan. Penyaringan tahap pertama dilakukan oleh Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM). Di sini tujuan penyaringan adalah memberikan status atau pengsahan partai politik sebagai sebuah badan hukum sebagaimana ditetapkan oleh UU No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik. Pada tahap ini ada 50 partai politik yang dinyatakan lulus penyaringan.

Penyaringan tahap kedua adalah verifikasi administratif oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Untuk diketahui, UU No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD menegaskan bahwa partai politik yang dibenarkan mengikuti Pemilu adalah partai yang sudah mendapat pengesahan sebagai badan hukum oleh Depkeh dan HAM. Ke-50 partai yang lulus penyaringan tersebut kemudian mendaftarkan diri ke KPU untuk menjadi calon peserta Pemilu.

Sesuai dengan amanat UU No. 12/2003, khususnya Pasal 7 – 10, yang kemudian dijabarkan di dalam Keputusan KPU No. 105 Tahun 2003 sebagaimana diperbarui dengan Keputusan KPU No. 615 Tahun 2003, sebuah partai politik berhak mengikuti Pemilu apabila memenuhi sejumlah persyaratan. Pertama, mempunyai kepengurusan lengkap di sekurang-kurangnya 2/3 jumlah provinsi di Indonesia. Kedua, mempunyai pengurus lengkap di sekurang-kurangnya 2/3 kabupaten/kota di setiap provinsi di mana ia mempunyai kepengurusan. Ketiga, semua kepengurusan tersebut harus mempunyai kantor. Keempat, mempunyai anggota sekurang-kurangnya 1.000 orang atau 1/1.000 dari jumlah penduduk di setiap daerah di mana ia mempunyai pengurus.

Pembuktian setiap partai yang mendaftarkan diri tersebut dilakukan melalui proses verifikasi. Ada dua tahap verifikasi di sini, yaitu verifikasi administratif dan verifikasi faktual. Hanya partai yang lulus verifikasi administratif yang bisa mengikuti penyaringan tahap selanjutnya (verifikasi faktual).Penyaringan tahap ketiga adalah verifikasi faktual. Pada tahap ini yang diteliti adalah memastikan apakah benar dokumen-dokumen mengenai kepengurusan dan keanggotaan sebagaimana di dalam verifikasi administratif tersebut mewujud di lapangan. KPU menyusun ketentuan mengenai tata cara dan prosedur verifikasi tersebut di dalam Keputusan KPU No. 105/2003 dan yang diperbarui dengan Keputusan KPU No. 615/2003.

Sebuah catatan perlu ditekankan di sini bahwa 6 dari partai tersebut tidak melalui proses verifikasi yang dilakukan oleh KPU, baik administratif maupun faktual. Sebab, keenam partai tersebut telah lulus electoral threshold (mempunyai 2% dari jumlah kursi di DPR) di dalam Pemilu 1999. Sedangkan menurut UU No. 12/2003 partai yang sudah memenuhi electoral threshold tersebut, langsung ditetapkan menjadi peserta Pemilu 2004 apabila mendaftarkan diri sebagai calon peserta Pemilu ke KPU. Keenam partai tersebut adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golongan Karya, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, dan Partai Bulan Bintang.
Oleh karena jumlah partai yang mengikuti proses verifikasi ada 44. Setelah keseluruhan proses verifikasi selesai, ada 18 partai yang lulus. Ditambah dengan 6 partai yang lulus threshold, jumlah keseluruhan partai yang berhak menjadi peserta Pemilu 2004 adalah 24, yaitu

1.            Partai Nasional Indonesia Marhaenisme.

2.            Partai Buruh Sosial Demokrat.

3.            Partai Bulan Bintang.

4.            Partai Merdeka

5.            Partai Persatuan Pembangunan

6.            Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan

7.            Partai Perhimpunan Indonesia Baru

8.            Partai Nasional Banteng Kemerdekaan

9.            Partai Demokrat

10.       Partai Keadilan Dan Persatuan Indonesia

11.       Partai Penegak Demokrasi Indonesia

12.       Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia

13.       Partai Amanat Nasional

14.       Partai Karya Peduli Bangsa

15.       Partai Kebangkitan Bangsa

16.       Partai Keadilan Sejahtera

17.       Partai Bintang Reformasi

18.       Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

19.       Partai Damai Sejahtera

20.       Partai Golongan Karya

21.       Partai Patriot Pancasila

22.       Partai Sarikat Indonesia

23.       Partai Persatuan Daerah

24.       Partai Pelopor

Pemilu 2009 diprediksi akan terjadi banyak pelanggaran dan perselisihan. Mengingat jumlah kontestan pemilu yang lebih banyak dibandingkan Pemilu 2004 ataupun pengaturan tentang pidana pemilu yang semakin banyak dan beragam. Beberapa mekanisme disiapkan di dalam UU 10 tahun 2008 untuk menyelesaikan sengketa pemilu. Direktur Centre for Electoral Reform (CETRO), Hadar Navis Gumay menyebut minimal terdapat empat potensi masalah pada Pemilu 2009. Pertama, penentuan calon legislator (caleg) terpilih. Menurutnya, penentuan caleg terpilih dalam UU No 10 Tahun 2008 berdasarkan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) 30 persen. Sementara ada partai politik yang membuat konsensus internalnya bahwa penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak.

Oleh karena itu, perbedaan penentuan caleg terpilih ini, apakah berdasarkan suara terbanyak atau berdasarkan BPP 30 persen akan berpotensi timbulnya konflik terutama antarcaleg dalam satu partai politik. Untuk itu, Hadar mengusulkan kepada DPR dan pemerintah perlu melakukan amandemen (revisi) terbatas UU Pemilu khususnya pengaturan mekanisme penentuan caleg terpilih agar penentuan caleg didasarkan pada perolehan suara terbanyak di suatu daerah pemilihan (Dapil). Kedua, Daftar Pemilih Sementara (DPS). Data daftar pemilih yang belum akurat dan valid akan berpotensi terjadi masalah. Apabila masyarakat yang berhak ikut pemilu tetapi belum terdata cukup besar akan berpengaruh pada legitimasi pemilu itu sendiri termasuk legitimasi anggota DPR, DPD, maupun DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

Sebagai solusinya, kata Hadar, KPU perlu memperpanjang masa pendaftaran pemilih. KPU perlu mengoptimalkan koordinasi dengan aparatur pemerintah sampai tingkat kelurahan dan desa bahkan sampai tingkat RT/RW guna memastikan setiap warga negara yang berhak ikut pemilih terdata sebagai peserta pemilih.

Ketiga, biaya pemilu yang mubazir. Menurut dia, apabila sosialisasi mekanisme pemulu tidak berjalan secara efektif yang berakibat kurangnya pemahaman masyarakat akan mekanisme pemilu maka biaya pemilu bisa mubazir. Selain mengurangi legitimasi hasil pemilu, juga berpengaruh pada pemanfaatan anggaran yang tidak efektif.

Untuk itu, dia meminta KPU menyusun program dan tahapan-tahapan penyelenggaraan pemilu terutama sosialisasi pemilu kepada masyarakat secara terukur, efisien, dan efektif guna menyukseskan pelaksanaan Pemilu 2009. Keempat, hubungan KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Menurut dia, apabila KPU maupun KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota tidak merespons laporan pengaduan pelanggaran Pemilu oleh Bawaslu (Panwas di Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota ) akan berpotensi terjadi konflik lembaga antara Bawaslu dan KPU.

Untuk itu, dia meminta KPU (KPUD) harus merespons laporan Bawaslu maupun Panwas. Bawaslu, Nur Hidayat Sardini berharap, KPU menindaklanjuti setiap laporan pengaduan dari Bawaslu maupun Panwas. "Kita harapkan KPU tindaklanjuti pengaduan hasil pengawasan Bawaslu," katanya.

Anggota Bawaslu, Wahidah Suaib yang dihubungi Jurnal Nasional, kemarin, juga meminta KPU saling menghormati tugas dan peran antarlembaga. "Dalam konstruksi UU Penyelenggara pemilu maupun UU Pemilu diatur bahwa jika Bawaslu tidak menindaklanjuti pengaduan masyarakat maka Bawaslu bisa diancam pidana. Demikian juga, jika KPU mengabaikan laporan Bawaslu/Panwas mengenai pelanggaran pemilu bisa diancam Pidana," katanya.

Secara terpisah, Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun mengatakan, penyelenggaraan Pemilu merupakan pekerjaan besar bagi KPU. Oleh karena itu, KPU harus mencurahkan pikiran, tenaga, dan waktu untuk menyukseskan Pemilu 2009.

"Jangan melakukan pekerjaan yang tidak terlalu prioritas, misalnya melakukan sosialisasi di luar negeri. Sementara sosialisasi di dalam negeri belum berjalan efektif dan belum terbentuk seluruhnya Panwas Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia," katanya usai d

Beberapa Potensi Persoalan Pemilu

- Penentuan calon legislator (caleg) terpilih.

- Daftar Pemilih Sementara (DPS).

- Sosialisasi Mekanisme dan Sistem Pemilu ke masyarakat.

- Konflik antara Bawaslu dan KPU.